Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indahnya Nyepi (Refleksi Diri Melalui Ajaran Tri Hita Karana)

  
Indahnya Nyepi (Refleksi Diri Melalui Ajaran Tri Hita Karana)
 
Saya ingin berbagi sedikit melalui tulisan tentang Nyepi yang telah kita lalui bersama (9-3-2016), saya merasa tulisan saya ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saya harapkan komentar, saran dan kritik yang membangun dapat pembaca sampaikan.

Nyepi kali ini sangat spesial, Nyepi kali ini dihiasi indahnya Gerhana Matahari. Betapa bahagianya,  harmoni alam bisa kita nikmati bersama. Inilah saat dimana kita mampu melaksanakan 'Mulat Sarira' untuk menjaga kehidupan yang seimbang dan harmonis. Hubungan yang harmonis antara Manusia, Alam Semesta dan Sang Pencipta merupakan sebuah asa kita bersama demi terwujudnya kehidupan yang Shanti Jagadhita.

Berikut akan saya bahas sedikit mengenai Pengertian Nyepi dan Tri Hita Karana serta mengapa kita harus merefleksi diri melalui ajaran Tri Hita Karana.


Pengertian Nyepi 

Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.

Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.

Sejarah Nyepi 

Kita semua tahu bahwa agama Hindu berasal dari India dengan kitab sucinya Veda. Di awal abad masehi bahkan sebelumnya, Negeri India dan wilayah sekitarnya digambarkan selalu mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan. Pertikaian antar suku-suku bangsa, antara lain (Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya) menang dan kalah silih berganti. Gelombang perebutan kekuasaan antar suku menyebabkan terombang-ambingnya kehidupan beragama itu. Pola pembinaan kehidupan beragama menjadi beragam, baik karena kepengikutan umat terhadap kelompok-kelompok suku bangsa, maupun karena adanya penafsiran yang saling berbeda terhadap ajaran yang diyakini. Dan pertikaian yang panjang pada akhirnya suku Saka menjadi pemenang dibawah pimpinan Raja Kaniskha I yang dinobatkan menjadi Raja dan turunan Saka tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi. Dari sini dapat diketahui bahwa peringatan pergantian saka adalah hari keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda. Sejak tahun 78 Masehi itulah ditetapkan adanya perhitungan tahun Saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut Caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret Perhitungan Masehi dan Sasih Kesanga dalam Perhitungan Jawa dan Bali di Indonesia. Sejak itu pula kehidupan bernegara, bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang. Oleh karena itu peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional. Keberhasilan ini disebar-luaskan keseluruh daratan India dan Asia lainnya bahkan sampai ke Indonesia.

Aji Saka : Kehadiran Sang Pendeta Saka bergelar Aji Saka tiba di Jawa di Desa Waru Rembang Jawa Tengah tahun 456 Masehi, dimana pengaruh Hindu di Nusantara saat itu telah berumur 4,5 abad. Dinyatakan Sang Aji Saka disamping telah berhasil mensosialisasikan peringatan pergantian tahun saka ini, juga dan peristiwa yang dialami dua orang punakawan! pengiring atau caraka beliau diriwayatkan lahirnya aksara Jawa onocoroko doto sowolo mogobongo padojoyonyo. Karena Aji Saka diiringi dua orang punakawan yang sama-sama setia, samasama sakti, sama-sama teguh dan sama-sama mati dalam mempertahankan kebenaran demi pengabdiannya kepada Sang Pandita Aji Saka.

Hari raya Nyepi sebagai hari raya umat Hindu yang merupakan puncak identitas umat Hindu, karena hari raya suci ini satu-satunya yang diakui sebagai hari libur nasional yang dimulai tahun 1983. Konsep Nyepi yang ditawarkan pada 168 negara ketika berlangsungnya Konferensi Internasional Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, pada tahun 2007, kini mendapat pengakuan secara global.

Perayaan Nyepi di Bali : 

Umat Hindu di Bali merayakan Nyepi dengan melaksanakan Penyucian, Sipeng dan Ngembak Geni.  

Penyucian : 

Melasti, Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) diarak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam. Bahkan di beberapa wilayah, Upacara Melasti dilaksanakan Sehari sebelum Nyepi (seperti di Desa Jumpai, Kec. Klungkung, Kab. Klungkung), di Desa Adat Buleleng juga pelaksanaan Melasti dilaksanakan pada saat Purnama Sasih Kadasa atau 14 hari setelah Nyepi, hal ini dikarenakan penyesuaian dengan Desa, Kala dan Patra masing-masing Desa Adat.

Tawur Kesanga, Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di segala tingkatan masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan, dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar), seperti dalam istilah Hindu disebut Nista, Madya dan Utama. Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna (somya) semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat. Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk nyomya Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir/nyomya Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.

Puncak acara Nyepi/Sipeng Keesokan harinya, yaitu pada "pinanggal pisan", sasih Kedasa (tanggal 1, bulan ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri dari Amati Geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak mendengarkan/menonton hiburan/menghibur diri). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.
Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada, suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan Brata (pengekangan hawa nafsu), Yoga (menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan Samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin). Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan pada tahun yang baru.
Pada saat Nyepi, manusia pun dituntut beristirahat dari berbagai aktivitas keseharian, termasuk tidak mencemari bumi dan alam sekitarnya dengan aneka polusi, seperti yang telah diakui Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Bali, pada tahun 2007.

Ngembak Geni (Ngembak Api) Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada "pinanggal ping kalih" (tanggal 2) Sasih Kedasa (bulan X). Pada hari ini Tahun Baru Saka tersebut memasuki hari ke dua. Umat Hindu melakukan Dharma Shanti dengan keluarga besar dan tetangga, mengucap syukur dan saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain, untuk memulai lembaran tahun baru yang bersih. Inti Dharma Shanti adalah filsafat Tat Twamasi yang memandang bahwa semua manusia di seluruh penjuru bumi sebagai ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa hendaknya saling menyayangi satu dengan yang lain, memaafkan segala kesalahan dan kekeliruan. Hidup di dalam kerukunan dan damai.

Setelah dijelaskan secara singkat tentang Nyepi, sekarang akan dijelaskan sedikit mengenai Tri Hita Karana.

Tri Hita Karana 
Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang berarti kebahagiaan dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan”. Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup tangguh. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keanekaragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan ke Tuhan yang saling terkait satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan menghindari dari pada segala tindakan buruk. Hidupnya akan seimbang, tenteram, dan damai.
Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.

Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi; Sanghyang Jagatkarana, Bhuana, dan Manusia.

Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut :
1. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya (Sang Hyang Jagat Karana).
2. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya (Bhuana).
3. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya (Manusia).

Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan :
1. Parhyangan
Parahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat Di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga Di tingkat keluarga berupa pemerajan atau sanggah
2. Pelemahan
Pelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali Di tingkat desa adat meliputi "asengken" bale agung Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan
3. Pawongan
Pawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali Untuk di desa adat meliputi krama desa adat Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga.


Melalui Nyepi kita refleksi Melalui Ajaran Tri Hita Karana
Betapa agungnya ajaran tri Hita Karana yang memiliki konsep universal, jika mampu diterapkan pada semua aspek kehidupan, niscaya kedamaian akan tercapai. Namun Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan, maka dari itu kita hanya bisa berusaha semampu dan sekuat tenaga, segala sesuatunya telah ditentukan oleh Beliau (Rta).

Sepatutnya Tri Hita Karana mampu kita jadikan sebagai refleksi di kehidupan ini melalui perayaan Hari Raya Nyepi.

Sang Hyang Jagat Karana/Parahyangan (Menjaga Hubungan yang Harmonis antara Manusia dengan Tuhan) : Melasti merupakan cerminan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta, Manusia sudah sepatutnya menjaga keharmonisan dengan Tuhan dan Ciptaannya. karena tanpa kita sadari, semua yang kita gunakan mulai dari alat sederhana hingga alat tercanggih sekalipun semuanya berasal dari alam semesta yang merupakan ciptaan Tuhan.

Bhuana/Palemahan (Hubungan yang Harmonis antara Manusia dengan Lingkungan) : Tawur Kesanga, semua tingkatan wilayah melaksanakan pembersihan pengaruh negatif terhadap manusia melalui upacara Bhuta Yadnya. Membersihkan lingkungan secara Niskala ini merupakan cerminan rasa cinta kita kepada lingkungan. Bisa kita bayangkan bagaimana penatnya kehidupan yang dijalani dengan berbagai aktivitas kehidupan, bahkan di negara-negara maju "alam semesta" nyaris tak dapat beristirahat. Melalui Nyepi, kita dapat "mengisitirahatkan alam semesta"

Manusia/Pawongan (Hubungan yang Harmonis antara Manusia dengan Manusia : Dharma Shanti, merupakan sebuah perayaan untuk kedamaian yang dilaksanakan serangkaian Nyepi. Menjalin hubungan harmonis dengan keluarga, masyarakan dll. sudah menjadi harapan kita bersama.

Melasti, Tawur Kesanga, Sipeng, dan Dharma Shanti merupakan sebagian hal kecil yang merupakan jalan untuk mencapai keharmonisan.

Nyepi juga bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional.

Di balik semua itu tersimpan makna yang sangat dalam, "SUNYI"...
Kesunyian itulah yang patut kita jadikan sarana merefleksi diri dalam kehidupan. Manusia patut menjaga garis yang bernama "keharmonisan/Hita".

-Satria2016-
dari berbagai sumber 

Demikianlah sepintas tentang refleksi Tri Hita Karana dalam Nyepi. Semoga apa yang saya tulis dapat bermanfaat dan silahkan di share.

"Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Caka 1938 (9 Maret 2016), semoga kita mampu merefleksi diri menuju kehidupan yang lebih baik".

Posting Komentar untuk "Indahnya Nyepi (Refleksi Diri Melalui Ajaran Tri Hita Karana)"