Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bhatara Kala vs Rare Kumara, Mitologi dalam Tumpek Wayang

(Ilustrasi) Wayang Bhatara Kala

Tumpek mengandung makna hari suci yang didasari atas pertemuan hitungan terakhir dalam sapta wara (Saniscara) dengan hitungan terakhir panca wara (Kliwon). Dalam satu putaran pawukon terdapat enam kali tumpek, yaitu Tumpek Landep, Tumpek Wariga (Tumpek Pengatag), Tumpek Kuningan, Tumpek Klurut, Tumpek Uye, dan Tumpek Wayang.

Tumpek Wayang merupakan tumpek yang spesial dari tumpek-tumpek lainnya, karena bertepatan pula dengan Kajeng Kliwon. Saniscara Kajeng Kliwon Wuku Wayang. Semua unsur tersebut adalah hitungan terakhir dalam sapta wara, tri wara, panca wara, dan urutan tumpek itu sendiri. Akhir, akhir, akhir, dan akhir. Yang memiliki akhir adalah waktu/ Sang Kala.

Tumpek Wayang jatuh setiap 6 bulan (210 hari) sekali, menurut kalender Bali jatuh pada Hari Sabtu/Saniscara Kliwon Wuku Wayang. Menurut tradisi di Bali, seorang anak yang lahir pada Wuku Wayang harus melukat dengan Tirta Wayang Sapuh Leger. Tumpek wayang erat kaitannya dengan cerita Rare Kumara yang ingin dimakan oleh Bhatara Kala, karena Rare Kumara lahir bertepatan dengan Wuku Wayang.

Dalam Cerita Wayang Lakon Sapu Leger, diceritakan Bhatara Kala akan memakan segala yang lahir pada wuku wayang atau yang berjalan tengah hari tepat wuku wayang. Atas petunjuk ayahandanya Dewa Siwa, Bhatara Kala mengetahui bahwa Rare Kumara putra bungsu dari Dewa Siwa lahir pada wuku wayang.

Pada suatu hari bertepatan pada wuku wayang, Rare Kumara dikejar oleh Bhatara Kala hendak dimakannya. Rare Kumara lari kesana ke mari menghindarkan dirinya dari tangkapan Bhatara Kala. Ketika tengah hari tepat, dan dalam keadaan terengah-engah kepayahan Rare Kumara nyaris tertangkap Bhatara Kala kalau tidak dihalangi oleh Dewa Siwa. Oleh karena dihalangi oleh Dewa Siwa maka Bhatara Kala hendak memakan ayahandanya. Hal ini disebabkan karena Dewa Siwa berjalan tengah hari tepat dalam wuku wayang.

Diceritakan selanjutnya, Dewa Siwa rela dimakan oleh putranya Bhatara Kala, dengan syarat Bhatara Kala dapat menterjemahkan dan menerka ini serangkuman sloka yang diucapkan Dewa Siwa. Bunyi sloka tersebut adalah : 
Om asta pada sad lungayan,
Catur puto dwi puruso,
Eko bhago muka enggul,
Dwi crengi sapto locanam
Bhatara Kala segera menerjemahkan sloka itu serta menerka maksudnya ; 
Om asta pada, Dewa Siwa berkeadaan kaki delapan, yaitu kaki Dewa Siwa enam kaki Dewi Uma dua, semuanya delapan,  
Sad Lungayan, tangan enam yaitu tangan Dewa Siwa empat, tangan Dewi Uma dua semua enam,  
Catur puto, buah kelamin laki-laki empat, yaitu buah kelamin Dewa Siwa Dua, buah kelamin lembu dua,semuanya empat,  
Dwi puruso, dua kelamin laki-laki, yaitu kelamin Dewa Siwa satu, kelamin lembu satu, semuanya dua,  
Eka bhago, satu kelamin perempuan yaitu kelamin Dewi Uma,  
Dwi crengi dua tanduk yaitu tanduk lembu,  
Sapto locanam, tujuh mata yaitu mata Dewa Siwa dua, mata Dewi Uma dua, mata lembu dua, yaitu hanya enam mata tidak tujuh
Dewa Siwa bersabda mataku tiga (Tri Netra) diantara keningku ada satu mata lagi, mata gaib yang dapat melihat seluruh alam ditutup dengan cudamani. Akhirnya Bhatara Kala tidak dapat menerka dengan sempurna sloka itu, tambahan pula matahari condong ke barat, maka Bhatara Kala tidak berhak memakan Dewa Siwa ayahandanya. 

Karena itu Bhatara Kala meneruskan pengejaran kepada Rare Kumara yang telah jauh larinya masuk ke halaman rumah-rumah orang. Akhirnya, pada malam hari bertemu dengan seorang dalang yang sedang mengadakan pertunjukan wayang, Rare Kumara masuk ke bumbung (pembuluh bambu) gender wayang (musik wayang) dan Bhatara Kala memakan sesajen wayang itu.

Oleh karena itu, Ki Mangku Dalang menasehati Bhatara Kala agar jangan meneruskan niatnya hendak memakan Rare Kumara, karena Bhatara Kala telah memakan sesajen wayang itu sebagai tebusannya. Bhatara Kala tidak lagi berdaya melanjutkan pengejarannya, sehingga Rare Kumara akhirnya selamat.

Dengan demikian dikisahkan Rare Kumara sebagai mitologi bahwa anak yang lahir pada hari yang bertepatan dengan Wuku Wayang dianggap anak sukerta dan akan menjadi santapan Bhatara Kala, karena itu anak bersangkutan harus dilukat dengan tirta Wayang Sapuh Leger.

2 komentar untuk "Bhatara Kala vs Rare Kumara, Mitologi dalam Tumpek Wayang"

Orang Bijak Selalu Meninggalkan jejak