Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Siwaratri: Perenungan Menuju Perbaikan Diri

Agama Hindu memiliki sejumlah hari raya besar keagamaan yang selalu dirayakan oleh setiap umatnya. Setiap upacara keagamaan tentu ada makna-makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Salah satunya adalah Siwaratri.

Makna Siwaratri

Siwaratri berasal dari kata “siwa” dan “ratri”, dalam bahasa Sansekerta Siwa berarti baik hati, memberikan harapan, membahagiakan dan suka memaafkan, Siwa juga adalah sebuah nama kehormatan manifestasi Tuhan yaitu Dewa Siwa yang berfungsi sebagai pelebur atau pamrelina. Sedangkan Ratri berarti malam atau kegelapan, sehingga jika diartikan Siwaratri berarti pelebur kegelapan untuk menuju jalan terang.

Hari Siwaratri jatuh setiap setahun sekali berdasarkan kalender Içaka yaitu pada Purwaning Tilem atau panglong ping 14 sasih Kapitu (bulan ke tujuh) sebelum bulan mati (tilem) atau sehari sebelum Tilem Kapitu. Siwaratri memang memiliki makna khusus bagi umat Hindu, karena pada saat tersebutlah Hyang Siwa beryoga, sehingga menjadi hari baik bagi umat untuk melakukan brata samadi berikut kegiatan penyucian dan perenungan diri serta melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Siwa.

Makna hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu pengetahuan rohani.

Kisah Lubdaka

Dikisahkan pada suatu hari, karena sudah larut malam Lubdaka dengan terpaksa harus bermalam di hutan dan tidak terasa langkah kakinya tertuju pada pohon bila, agar aman dari serangan binatang hutan, maka Lubdaka berdiam diri di atas pohon dan agar tidak tidur dan terjatuh, daun bila dipetik helai demi helai dan dijatuhkan ke bawah.

(Ilustrasi) Pohon Bila

Tidak disadarinya bahwa malam tersebut adalah hari Siwaratri dan daun bila tersebut tepat mengenai lingga Siwa yang berada di bawahnya. Lubdaka terus memetik daun bila agar tetap terjaga, pada malam itu dia juga menyadari dan menyesali perbuatan dosanya dan berjanji dalam hati akan menghentikan pekerjaannya sebagai seorang pemburu.

Mulai saat itulah Lubdaka berhenti menjadi seorang pemburu dan beralih menjadi petani dan berseru kepada keluarganya untuk berhenti melakukan dosa dan mulai bertobat. Diceritakan setelah meninggal arwah Lubdaka disambut oleh para cikrabala, disiksa dan untuk dimasukkan ke neraka atas dosa-dosanya.

Pada saat itulah Dewa Siwa datang untuk membebaskan Lubdaka, terjadi dialog yang sengit antara pasukan Cikrabala dengan Dewa Siwa. Pasukan Cikrabala berkewajiban membawa Lubdaka ke neraka karena harus bertanggung jawab akan perbuatan dosanya. Dewa Siwa menjelaskan bahwa Lubdaka sudah membuat penebusan dosa dengan begadang semalam suntuk seraya menyesali dosa-dosanya dan bertobat tidak melakukan perbuatan dosa lagi, sehingga Lubdaka berhak mendapatkan pengampunan, sehingga Lubdaka dibawa ke Siwa Loka dan tidak jadi masuk neraka.

Kisah singkat Lubdaka tersebut di atas, memberikan gambaran pada kita bahwa pada hari Siwaratri yang juga dikenal dengan malam Siwa dimaknai sebagai hari peleburan dosa. Sehingga setiap orang pada setiap tahunnya pada saat perayaan Hari Siwaratri memiliki kesempatan melakukan peleburan dosa dengan melakukan brata Siwaratri dan tentunya juga bertobat tidak melakukan dosa lagi.

Sekilas apa yang dimaknai dalam perayaan hari Siwaratri menurut lontar atau kitab Lubdaka tersebut tentunya akan berlawanan dengan hukum karma phala bagi umat Hindu. Karena apapaun perbuatan kita baik atau buruk maka hasil atau akibatnya akan sama, karena hukum karma phala tersebut akan terus berlaku tidak hanya berlaku pada kehidupan ini tetapi juga di akhirat dan juga kehidupan kita mendatang.

Tetapi dalam lontar Lubdaka ciptaan Mpu Tanakung, siksaan yang sempat dialami oleh Lubdaka ketika di hukum oleh pasukan cikrabala yaitu abdi Dewa Yama yang sebagai dewa keadilan, berakhir dengan segera karena telah melakukan peleburan dosa dan menyadari segala dosa-dosanya dan tidak melakukannya lagi.

Maka untuk itu hari Siwaratri ini dianggap penting sekali bagi umat untuk mendapatkan pencerahan diberikan jalan yang benar untuk bisa mengakhiri perbuatan dosa dan bertobat serta dengan harapan dapat peleburan dosa dengan memuja Dewa Siwa.

Pelaksanaan Siwaratri

Hari Jumat, 20 Januari tahun 2023, Sukra Umanis Langkir, Sasih Kapitu Icaka Warsa 1944 merupakan hari Siwaratri.

Waktu pelaksanaan Siwaratari yaitu pada panglong ping 14 sasih Kapitu , serta brata Siwaratri yang dilaksanakan pada hari raya Siwaratri ada beberapa tingkatan sesuai kemampuan, diantaranya;
Utama: melakukan Jagra (berjaga, tidak tidur), Upawasa (tidak makan dan tidak minum), Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
Madya: melakukan Jagra (berjaga, tidak tidur), Upawasa (tidak makan dan tidak minum).
Nista: hanya melakukan Jagra (berjaga, tidak tidur).

Sebelum melaksanakan seluruh kegiatan, melakukan persembahyangan terlebih dahulu di pagi hari selesainya pada pukul 06.00, dan untuk monobrata dilakukan selama 12 jam mulai pukul 06.00-18.00, Upawasa dilakukan selama 24 jam mulai pukul 06.00-16.00, sedangkan Jagra dilakukan selama 36 jam mulai pukul 06.00-18.00 wita esok harinya.

Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan sucilaksana (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih Kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut:
Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan dharmaning kawikon.
Maprayascita sebagai pembersihan pikiran dan batin.
Ngaturang banten pajati di Sanggar Surya disertai persembahyangan ke hadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian-Nya.
Sembahyang ke hadapan leluhur yang telah sidha dewata mohon bantuan dan tuntunannya.
Ngaturang banten pajati ke hadapan Sang Hyang Siwa.
Banten ditempatkan pada Sanggar Tutuan atau Palinggih Padma atau dapat pula pada Piasan di Pamerajan atau Sanggah.
Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar serta diikuti sembahyang yang ditujukan kepada:
- Sang Hyang Siwa.
- Dewa Samodaya.

Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas tirta pakuluh. Terakhir adalah masegeh di bawah di hadapan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwarâtri, ditutup dengan melaksanakan dana punia.
Sementara proses itu berlangsung agar tetap mentaati upawasa dan jagra.

Upawasa berlangsung dari pagi hari pada panglong ping 14 sasih Kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam).
Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih.

Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya jam 18.00 (36 jam).
Persembahyangan seperti tersebut dalam nomor 4 di atas, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih Kapitu, pada tengah malam dan besoknya menjelang pagi.

Apa tujuannya Monabrata, upawasa dan mejagra. Pada dasarnya, laku-laku tapa brata adalah untuk pengendalian diri (mengekang hawa nafsu). Atau dengan kata lain membiasakan berkata dan bertingkah laku yang baik.

Monobrata maksudnya adalah mengubah kebiasaan dari suka berkata-kata kasar, memaki, memfitnah, membicarakan keburukan orang, menjadi senang berkata-kata yang lemah lembut, membicarakan kebaikan orang lain, senang mengagungkan nama Tuhan.

Monobrata pada hari suci Siwaratri diarahkan untuk mengucapkan nama Tuhan didalam lubuk hati secara terus menerus, misalnya dengan menyebutkan pemujaan kepada Dewa Siwadan "Om Nama Siwa ya secara berulang-ulang.

Tapa monobrata tujuannya adalah sangat luhur dan mulia, terutama sekali untuk mengekang nafsu marah dan angkara murka. Sebab kata-kata yang kasar bisa melukai perasaan orang lain sampai bertahun-tahun.

Kemudian laku upawasa yaitu berpuasa tidak makan dan minum adalah untuk menunjang jalannya brata monobrata. Supaya konsentrasi seseorang yang menjalankan laku ini tidak pecah. Mengistirahatkan kerja usus, lambung dan kerongkongan serta mulut pada hari suci itu, untuk tujuan pemujaan. Berpuasa secara fisik dan mental menjadikan tujuan itu terpusat kesatu arah. Apalagi disertai dengan japam (pengulangan mantra), sehingga meditasi itu menjadi khusuk.

Begitupun halnya dengan mejagra, begadang semalam suntuk sambil mengidungkan nama-Nya di dalam hati secara terus menerus. Makna dari mejagra ini adalah, agar seseorang senantiasa terjaga selama hidupnya, dengan kata lain tidak lupa diri (mabuk) tidak dikuasai oleh 7 (tujuh) nafsu kemabukan itu.

Demikian sekilas informasi tentang hari Siwaratri, artikel ini diambil dari berbagai sumber, jika ada kurang lebih dari penyampaian informasi tersebut, mohon dibantu dalam kolom komentar. Semoga bermanfaat.

Melalui Siwaratri, semoga kita bisa merenung dan merefleksi diri tentang apa yang sudah dan akan kita lakukan ke depan, demi tercapainya tujuan hidup yang lebih baik. Alangkah indahnya ketika apa yang sudah kita renungkan, mampu kita perbaiki untuk meningkatkan kualitas diri.

Posting Komentar untuk "Siwaratri: Perenungan Menuju Perbaikan Diri"